Selama ini mungkin telah bertebaran
persepsi yang keliru dari kalangan yang tidak menyukai tradisi tahlilan
yakni bahwa kaum Muslimin yang melakukan tahlilan adalah pelaku bid’ah
sesat dan melawan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan-akan
yang melakukan tahlilan telah meninggalkan sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan pelakunya menjadi berdosa dan masuk neraka.
Tudingan yang semacam ini tentunya tidak
tepat, karena meskipun diakui bahwasanya tradisi tahlilan yang
berkembang di nusantara ini adalah termasuk perkara baru (bid’ah), namun
perkara baru ini memiliki landasan-landasan dalil dari al-Quran dan
Sunnah, sehingga perkara baru yang demikian ini jatuh ke dalam hukum
syara’ Sunnah. Pembagian bid’ah yang demikian ini berdasarkan pendapat
al-Imaam al-Izzuddin ibn Abd as-Salaam rahimahullaah yang mana beliau
berpendapat bahwa bid’ah itu bukan hukum syara’, sehingga bid’ah dapat
jatuh ke dalam hukum syara’ yang lima (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan
haram) dan apabila berkaitan dengan mu’amalah ditambah dengan sah dan
batal.
Dan ada pula pendapat bahwa cikal akal
tradisi tahlilan ini sejatinya sudah ada sejak sebelum zamannya ibn
Taimiyyah al-Harrani salah (seorang ulama’ yang dijadikan rujukan utama
kaum Salafi Wahabi) di abad 7 H, hal ini dapat diketahui dari
keterangan yang diambil dari Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa:
وسئل: عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم:
هذا الذكر بدعة وجهركم في الذكر بدعة وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون ثم
يدعون للمسلمين الأحياء والأموات ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل
والتكبير والحوقلة ويصلون على النبي صلى الله عليه وسلم
Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang
laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia mengatakan kepada
mereka (ahli dzikir) “Ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam
dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup
dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum
muslimin yang hidup maupun yang sudah wafat, mereka mengumpulkan antara
bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah (Laa Hawla wa Laa
Quwwata Ilaa Billah), mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam..
فأجاب: الاجتماع لذكر الله واستماع كتابه
والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات في الأوقات ففي الصحيح عن
النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: {إن لله ملائكة سياحين في الأرض فإذا
مروا بقوم يذكرون الله تنادوا هلموا إلى حاجتكم} وذكر الحديث وفيه {وجدناهم
يسبحونك ويحمدونك} لكن ينبغي أن يكون هذا أحيانا في بعض الأوقات والأمكنة
فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم
المداومة عليه في الجماعات من الصلوات الخمس في الجماعات ومن الجمعات
والأعياد ونحو ذلك. وأما محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة أو القراءة
أو الذكر أو الدعاء طرفي النهار وزلفا من الليل وغير ذلك: فهذا سنة رسول
الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من عباد الله قديما وحديثا
Jawab: Berkumpul untuk dzikir kepada
Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih, dan itu
termasuk dari paling utamanya qurubat (amal mendekatkan diri kepada
Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam
hadits Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau
bersabda : “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian
di bumi, ketika mereka melewati sebuah kaum (perkumpulan) yang berdzikir
kepada Allah, mereka (para malaikat) berseru : “Silahkan sampaikan
hajat kalian”. Dan disebutkan di dalam hadits tersebut, terdapat redaksi
“Dan kami menemukan mereka bertasbih kepada-Mu dan bertahmid
memuji-Mu”, akan tetapi selayaknya hal ini di hidupkan kapan saja dan
dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah yang dirutinkan
kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang berketerusan dalam jama’ah seperti shalat 5 waktu (dilakukan) dalam
jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara
rutinitas wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an,
atau mengingat Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam
atau pada waktu lainnya, maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah
sebelumnya dan sekarang. (Majmu’ al-Fatawa [22/520-521])
Dan memang demikianlah adanya, sebab
kalau dicermati secara seksama dan terperinci, maka sesungguhnya pelaku
tradisi tahlilan ini justru melakukan amalan-amalan sunnah yang
terkandung di dalam kegiatan tahlilan, dan tradisi ini dapat memotivasi
kaum Muslimin lainnya untuk melakukan sunnah. Masyarakat digiring untuk
melakukan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama-sama
sehingga tercipta sikap kepedulian hingga persatuan kaum Muslimin.
Misalnya ketika mengadakan kegiatan tradisi tahlilan yang telah menjadi
kebiasaan di masyarakat Muslim maka sesungguhnya mereka telah
membiasakan diri dengan sunnah-sunnah sebagai berikut :
1. Masyarakat berkumpul dalam sebuah majelis dzikir,
perhatikan bukankah ini memang sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ?. Banyak hadits yang masyhur tentang hal ini, misalnya :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الجَنَّةِ
فَارْتَعُوا قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ
“Sesungguhnya Nabi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda : apabila kalian berjalan ke taman
surga maka bergabunglah kalian”, para sahabat bertanya : “apa itu taman
surga (riyadlul jannah) ?”, Nabi menjawab : “Perkumpulan dzikir”. (Sunan at-Turmidzi no. 3510 ; hadits ini dinilai hasan)
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ
عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ
الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ
فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah sekelompok orang berkumpul dan
berdzikir kepada Allah kecuali mereka dikelilingi oleh para Malaikat,
diliputi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah sebut
mereka di kalangan para Malaikat yang mulia”. (Shahih Muslim no. 2700 ; Musnad Ahmad no. 11875)
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ
اللهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ
مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلَتْ
سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ
“Tidaklah sebuah kaum berkumpul berdzikir
kepada Allah, karena mereka tiada menginginkan dengan hal itu kecuali
keridlaan Allah, maka malaikat akan menyeru dari langit, bahwa
berdirilah kalian dengan pengampunan bagi kalian, sungguh keburukan
kalian telah digantikan dengan kebaikan”. (Musnad Ahmad no. 12453)
2. Membaca al-Qur’an
Membaca al-Qur’an merupakan amaliyah yang
dapat dibaca kapan saja juga termasuk daripada dzikir, dan inilah yang
juga dibiasakan dibaca ketika tradisi tahlilan. Masyarakat digiring
untuk bersama-sama membaca al-Qur’an, lebih itu masyarakat juga
diajarkan kepedulian terhadap yang meninggal dengan menghadiahkan
pahalanya kepada orang mati. Hal ini, disamping di tuntut keikhlasan
dari yang membaca, juga bagi yang mengajaknya terdapat pahala
tersendiri, sebab tiada yang sia-sia ketika mengajak kepada kebaikan.
Surah-surah yang dibaca adalah
surah-surah yang memang mudah untuk dibaca oleh masyarakat awam
sekalipun sehingga tidak memberatkan atau memudahkan mereka. Misalnya
membaca beberapa ayat pada surah al-Baqarah, al-Ikhlas, an-Naas,
al-Falaq, Yasiin, dan lain sebagainya. Semua ayat-ayat ini mudah dibaca,
sedangkan Allah berfirman :
فَاقْرَؤُا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Maka bacalah oleh kalian apa yang mudah dari al-Qur’an” (QS. Al-Muzammil : 20)
Disamping itu banyak fadlilah di dalam
membaca al-Qur’an, diantaranya sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sabdakan :
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي
يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ
الْبَقَرَةَ، وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ،
أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ، تُحَاجَّانِ عَنْ
أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَإِنَّ أَخْذَهَا
بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ، وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ
“Bacalah oleh kalian al-Qur’an, karena ia
akan datang pada hari kiamat kepada pembaca-pembacanya. Bacalah oleh
kalian Az-Zahrawayn yakni Surah al-Baqarah dan surah Ali Imran, karena
sungguh keduanya akan datang pada hari Qiamat laksana dua gumpalan awan
atau laksana dua cahaya yang menyinari atau laknna dua kelompok burung
yang (saling) membentangnya sayapnya dimana akan menjadi pembela bagi
pembaca keduanya, bacalah surah al-Baqarah karena mengambilnya merupakan
keberkahan, dan meninggalkannya mendapat penyesalan, sedangkan para
tukang sihir tidak akan mempan dengannya”. (Shahih Muslim no. 804)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مثل المؤمن الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ
وَيَعْمَلُ بِهِ: كَالأُتْرُجَّةِ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ،
وَالمُؤْمِنُ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ، وَيَعْمَلُ بِهِ:
كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلاَ رِيحَ لَهَا، وَمَثَلُ المُنَافِقِ
الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ: كَالرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ
وَطَعْمُهَا مُرٌّ، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ:
كَالحَنْظَلَةِ، طَعْمُهَا مُرٌّ – أَوْ خَبِيثٌ – وَرِيحُهَا مُرٌّ
“Perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an
dan mengamalkan al-Qur’an, seperti buah Utrujah, rasa dan baunya enak.
Orang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an dan mengamalkannya adalah
bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik
yang membaca al-Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan
namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an
bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak”. (Shahih Bukhari no. 5059 & 5427 ; Shahih Muslim no. 797 ; Sunan At-Turmidzi no. 2865)
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ إِذَا دَخَلَ
الْجَنَّةَ اقْرَأْ وَاصْعَدْ، فَيَقْرَأُ وَيَصْعَدُ بِكُلِّ آيَةٍ
دَرَجَةً حَتَّى يَقْرَأَ آخِرَ شَيْءٍ مَعَهُ
“Kelak akan dikatakan kepada shahibul
Qur’an (pembaca al-Qur’an) ketika memasuki surga, bacalah kemudian
naiklah (derajat), maka kemudian ia membacanya dan naiklah derajatnya
dengan tiap-tiap ayat hingga sampai ayat terakhir yang ia baca” (Sunan Ibnu Majah no. 3780, hadits ini shahih)
Selain banyaknya fadlilah berdasarkan
keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas, juga
masing-masing surah dalam al-Qur’an memiliki fadliyah tertentu, seperti
surah al-Fatihah yang juga dibaca pada kegiatan tahlilan, dimana
diantara fadlilahnya adalah :
قُلْتُ لَهُ: «أَلَمْ تَقُلْ
لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ سُورَةٍ فِي القُرْآنِ ، قَالَ:
الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ المَثَانِي،
وَالقُرْآنُ العَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
“Aku (Abu Sa’ad al-Mu’alla) bertanya
(kembali) kepada Rasulullah : “bukankah tadi engkau berkata : aku akan
mengajarkan kamu surah yang paling agung didalam al-Qur’an ?, Rasulullah
bersabda : “al-Hamdulillahi Rabbil ‘alamiin (al-Fatihah), ia adalah
As-Sab’u al-Matsani dan al-Qur’an yang agung yang telah diberikan”. (Shahih Bukhari no. 4474)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
قَالَ: ” أَلَا أُخْبِرُكَ يَا عَبْدَ
اللهِ بْنَ جَابِرٍ بِخَيْرِ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ؟ ” قُلْتُ: بَلَى يَا
رَسُولَ اللهِ. قَالَ: ” اقْرَأِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
حَتَّى تَخْتِمَهَا
“Maukah engkau aku khabarkan wahai
Abdullah bin Jabir tentang surah yang paling bagus didalam al-Qur’an?,
aku (Jabir) berkata : “Iya wahai Rasulullah”, kemudian Rasulullah
bersada : “Bacalah al-Hamdulillahi rabbil ‘alamiin hingga selesai
(al-Fatihah)”. (Musnad Ahmad no. 17597)
Kemudian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang juga terkait dengan surah al-Baqarah :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: بَيْنَمَا
جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: ” هَذَا بَابٌ
مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ،
فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ
لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَسَلَّمَ، وَقَالَ: أَبْشِرْ
بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةُ
الْكِتَابِ، وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ
مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
“dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : “ketika
Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendengar
suara dari atasnya, seraya mengangkat kepalanya, kemudian berkata :
“Pintu ini berasal dari langit yang dibuka pada hari ini yang belum
pernah di buka kecuali hari ini, kemudian seorang malaikat turun dari
pintu itu, dan berkata Jibaril : “malaikat ini turun ke bumi yang tidak
pernah turun kecuali hari ini, maka mengucapkan salam dan berkata :
“bergemberilah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu yang tidak
pernah diberikan kepada Nabi sebelum engkau, yakni Fatihatul Kitab
(al-Fatihah) dan ayat-ayat penutup surah al-Baqarah, tidaklah engkau
membaca satu huruf dari kedua surah tersebut kecuali engkau akan diberi
karunia” . (Shahih Muslim no. 806)
Sebagaimana diketahui bahwa akhir surah
al-Baqarah adalah ayat-ayat yang dibaca ketika tahlilan. Disamping itu
juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa setan
meninggalkan rumah yang dibacakan surah al-Baqarah :
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“janganlah jadikan rumah kalian sebagai
kuburan, karena sesungguhnya syaithan meninggalkan rumah yang dibacakan
didalam surah al-Baqarah” (Shahih Muslim no. 780)
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، وَإِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي يُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ، لَا يَدْخُلُهُ الشَّيْطَانُ
“Sesungguhnya rumah yang dibacakan didalam surah al-Baqarah, niscaya tidak akan dimasuki oleh syaithan” (Musnad Ahmad no. 8914)
Ayat Kursiy juga merupakan ayat al-Qur’an yang dibaca ketika tahlilan :
قَالَ: يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي
أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ . قَالَ: فَضَرَبَ فِي صَدْرِي،
وَقَالَ: وَاللهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “wahai Abul Mundzir, tahukah engkau sebuah ayat dari
Kitabullah (al-Qur’an) yang paling agung ?, Abul Munzir berkata : “aku
berkata : Allahu Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyum Qayyum (al-Baqarah :
255)”, kemudian Rasulullah menepuk pundakku”, dan beliau bersabda :
“semoga Allah mempermudahkan ilmu bagimu wahai Abul Mundzir”. (Shahih Muslim no. 810 ; Sunan Abi Daud no. 1460)
Di dalam Tahlilan juga dibaca surah al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas :
قَالُوا: وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : tidakkah salah satu dari kalian mampu membaca pada malam hari
seperti tiga al-Qur’an ? sahabat berkata : bagaimana membaca sepertiga
al-Qur’an ? Rasulullah menjawab: “Qul Huwallahu Ahad (al-Ikhlas) setara
dengan sepertiga al-Qur’an.” (Shahih Muslim no. 811)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: أَقْبَلْتُ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ رَجُلًا
يَقْرَأُ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ . قُلْتُ: مَا
وَجَبَتْ؟ قَالَ: الجَنَّةُ
“Dari Abu Hurairah, ia berkata : aku
datang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
mendengar seorang laki-laki membaca Qul Huwallahu Ahad (surah
al-Ikhlas), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“wajib”, aku berkata ; “wajib apa ?”, Rasulullah bersabda : “Surga”. (Sunan At-Turmidzi no. 2897, Hadits hasan shahih)
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ
قَالَ: بَيْنَا أَنَا أَقُودُ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَاحِلَتَهُ فِي غَزْوَةٍ إِذْ قَالَ: «يَا عُقْبَةُ، قُلْ
فَاسْتَمَعْتُ» ، ثُمَّ قَالَ: «يَا عُقْبَةُ، قُلْ فَاسْتَمَعْتُ» ،
فَقَالَهَا الثَّالِثَةَ، فَقُلْتُ: مَا أَقُولُ؟، فَقَالَ: «قُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ» فَقَرَأَ السُّورَةَ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَرَأَ:
«قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ» وَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى خَتَمَهَا،
ثُمَّ قَرَأَ «قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ» فَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى
خَتَمَهَا، ثُمَّ قَالَ: «مَا تَعَوَّذَ بِمِثْلِهِنَّ أَحَدٌ»
“Dari Uqbah bin Amir al-Juhani, ia
berkata : ketika aku menuntun kendaraan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sebuah peperangan, tiba-tiba beliau berkata: “Wahai
Uqbah, ucapkanlah,” aku pun mendengarkan, kemudian beliau berkata
(lagi): “Wahai Uqbah, ucapkanlah,” aku pun mendengarkan. Dan beliau
mengatakannya sampai tiga kali, lalu aku bertanya: “Apa yang aku ucapkan
?” Beliau pun bersabda : “Ucapkanlah Qul Huwallahu Ahad (al-Ikhlas),
kemudian membacanya sampai akhir , kemudian membaca Qul A’udzu bi-Rabill
Falaq (al-Falaq), , kemudian membacanya sampai akhir, kemudian
membacanya Qul A’udzu bi-Rabbin Naas (an-Naas), kemudian aku membacanya
sampai selesai, kemudian beliau bersabda : “tidak ada seorang pun yang
berlindung seumpama orang yang berlindung dengannya”. (Sunan an-Nasaa’i no. 5430 , hadits ini shahih)
Dan masih banyak lagi bacaan-bacaan yang
terkait al-Qur’an yakni surah al-Qur’an ataupun ayat al-Qur’an yang ada
pada tahlilan dimana masing-masing memiliki keutamaan tersendiri.
Tentunya tidak mungkin disebutkan dalam tulisan singkat ini.
3. Membaca Shalawat
Membaca shalawat sangat dianjurkan,
apalagi pada sebuah majelis dzikir seperti tahlilan, dan banyaknya
fadhilah yang terkandung didalamnya, seperti misalnya sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ
خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku
satu kali niscaya Allah bershalawat kepadanya 10 kali, digugurkan
sepuluh kesalahan-kesalahannya, dan di angkat sebanyak 10 derajat
baginya” (Sunan an-Nasaa’i no. 1297, shahih)
مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا ثُمَّ
تَفَرَّقُوا عَنْ غَيْرِ صَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلَّا تَفَرَّقُوا عَلَى أَنْتَنِ مِنْ رِيحِ الْجِيفَةِ
“Tidaklah duduk sebuah kaum kemudian
mereka perpisah tanpa bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kecuali mereka berpisah membawa yang lebih buruk dari bangkai” (As-Sunan al-Kubra an-Nasaai no. 10172 )
أوْلى النَّاسِ بي يَوْمَ القِيامَةَ أَكْثَرُهُمْ عَليَّ صَلاةً
Nabi bersabda: “Manusia yang paling utama pada hari qiyamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku”. (Sunan at-Turmidzi no. 484, hadits hasan ; Shahih Ibnu Hibban no. 911)
لا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيداً وَصَلُّوا عليَّ، فإنَّ صَلاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian jadikan kuburku sebagai
‘ied dan bershalawatlah kepadaku, sebab sungguh shalawat kalian sampai
kepadaku seketika kalian berada” . (Sunan Abi Daud no. 2042, hadits shahih)
4. Membaca Do’a.
Membaca doa sangat dianjurkan, apalagi
berdo’a kebaikan untuk saudaranya baik yang masih hidup atau yang sudah
meninggal. Ditambah lagi dilakukan secara bersama-sama maka itu lebih
dekat di ijabah. Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al-Mu’miin: 60)
وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا
رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr : 10)
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya
tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan
bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan.
Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal” (QS.
Muhammad : 19)
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan
kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mu’min pada hari terjadinya
hisab (hari kiamat)”. (QS. Ibrahim : 41)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidak ada seorang muslim pun yang
mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa
sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga
kebaikan yang sama.” (Shahih Muslim no. 2732)
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ
بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ
كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ:
آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk saudaranya
(sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas
kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga
setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang
diutus tersebut akan mengucapkan, “Amin dan kamu juga akan mendapatkan
seperti itu” (Shahih Muslim no. 2733)
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، قَالَ: إِنَّ دَعْوَةَ الْأَخِ فِي اللَّهِ تُسْتَجَابُ
“Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia berkata : sungguh mendo’akan saudaranya karena Allah adalah mustajab” (Al-Jami’ fil Hadits li-Ibni Wahab no. 161 ; Adabul Mufrad [624])
5. Membaca Dzikir –Dzikir yang lain.
Dzikir-dzikir lainnya semisal istighfar,
tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan lain sebagainya. Telah banyak
tersebar mengenai faidah-faidahnya. Inilah juga yang dibiasakan di dalam
tradisi tahlilan, maka betapa banyak faidah yang didapat oleh mereka
yang senantiasa membacanya apalagi dilakukan bersama-sama. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: ” مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ
وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ
“Barangsiapa yang mengucapkan : “Subhanallahil ‘Adhim wa Bihamdih” ditanamkan baginya sebatang pohon kurma di surga”. (Sunan at-Turmidzi no. 3464, hadits hasan shahih)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ”
مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ،
حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ
“Barangsiapa yang mengucapkan
“Subhanallah wa bi-Hamdih” didalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya
dihapus kesalahan-kesalahannya walaupun laksana buih di lautan”. (Shahih Bukhari no. 6405)
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: ” كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ،
ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ
اللَّهِ العَظِيمِ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ
“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “dua
kalian yang ringan di lisan (diucapkan), keduanya berat di timbangan
dihadapan Yang Maha Penyayang, yakni Subhanallahil ‘Adhim, Subhanallahi
wa bi-Hamdihi”. (Shahih Bukhari no. 6406)
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ،
ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ، سُبْحَانَ
اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “dua kalian yang ringan di lisan (diucapkan), keduanya berat
di timbangan serta dicintai oleh Yang Maha Penyayang, yakni
Subhanallahi wa bi-Hamdihi, Subhanallaahil ‘Adhim”. (Shahih Bukhari no. 6682 ; Muslim no. 2694)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ
اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ
أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : sungguh jika aku
mengucapkan Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa Ilaaha Illalla wa Allahu
Akbar, lebih disukai bagiku daripada disinari oleh terbitnya mentari”. (Shahih Muslim no. 2695 ; Sunan At-Turmidzi no. 3597)
مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، عَشْرَ مِرَارٍ كَانَ كَمَنْ أَعْتَقَ أَرْبَعَةَ
أَنْفُسٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ
“Barangsiapa yang mengucapkan : “laa ilaaha ilallaahu wahdahu laa
syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kullli syay-in
qadiir”, sebanyak sepuluh kali maka ia seperti orang yang memerdekakan
budak empat jiwa seperti keturunan Nabi Ismail” (Shahih Muslim no. 2693)
قَالَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ: أَلَا
أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ، فَقُلْتُ: بَلَى، يَا
رَسُولَ اللهِ قَالَ: ” قُلْ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, wahai Abdullah
bin Qays, mau engkau ku tunjukkan pembendaharaan surga ?, maka aku (Ibnu
Qays) berkata : iya wahai Rasulullah”, kemudian Rasulullah berkata :
“katakanlah, “Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billaah”. (Shahih Muslim no. 2704)
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ؛ أَنَّهُ
سَمِعَهُ يَقُولُ، فِي الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ: أَنَّهَا قَوْلُ
الْعَبْدِ: اللهُ أَكْبَرُ. وَسُبْحَانَاللهِ. وَالْحَمْدُ للهِ. وَلاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Kalimat-kalimat yang bagus yakni ucapan seorang hamba :
“Subhanallah, al-Hamdulillah, laa ilaaha illaa Allah, laa hawla wa laa
quwwata ilaa billah”. (Muwatha’ Malik no. 715)
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «اسْتَكْثِرُوا مِنَ الْبَاقِيَاتِ
الصَّالِحَاتِ» قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
«الْمِلَّةُ» ، قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
«الْمِلَّةُ» ، قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
التَّكْبِيرُ، وَالتَّهْلِيلُ، وَالتَّسْبِيحُ، وَالتَّحْمِيدُ، وَلَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : perbanyaklah kalian dengan kalimat-kalimat yang baik,
dikatakan “apa itu wahai Rasulullah ?, beliau menjawab “al-Millah”,
dikatakan lagi “Apa itu wahai Rasulullah?”, beliau menjawab :
“al-Millah”, dikatakan lagi : “Apa itu wahai Rasulullah ?”, beliau
menjawab : “Takbir, Tahlil, Tasbih, Tahmid, dan Laa Hawlaa wa laa
Qawwata ilaa billaah”. (Musnad Ahmad no. 11713)
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَحَبُّ الْكَلَامِ
إِلَى اللهِ أَرْبَعٌ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ. لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ
“perkataan yang paling dicintai oleh Allah adalah empat yakni
“Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa Ilaaha Illallaahu wa Allahu Akbar”,
tidak masalah bagimu memulai dari yang mana saja”. (Shahih Muslim no. 2137)
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ،
قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَالَ: عَلِّمْنِي كَلَامًا أَقُولُهُ، قَالَ: ” قُلْ: لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا،
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ ” قَالَ:
فَهَؤُلَاءِ لِرَبِّي، فَمَا لِي؟ قَالَ: قُلْ: اللهُمَّ اغْفِرْ لِي
وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي
“Dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya, ia
berkata : Seorang arab datang kepada Rasulullah seraya berkata :
“Ajarkanlah kepadaku ucapakan untuk aku baca”, Rasulullah bersabda :
katakanlah “laa ilaaha illaLlaah wahdahu laa syariyka lah, Allahu Akbar
Kabiiran, wal Hamdulillahi Katsiran, Subhanallahi Rabbil ‘Alamiin, Laa
Hawla wa laa Quwwata illaa bil-Laahil ‘Azizil Hakiim”, seorang Arab
tersebut berkata : semua itu untuk Rabb-ku, namun mana untukku ?”,
Rasullah bersabda : “katakanlah “Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah
aku, berilah petunjuk kepadaku dan limpahkanlah rizki kepadaku”. (Shahih Muslim no. 2696)
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الحَمْدُ لِلَّهِ
“Dzikir yang utama adalah Laa ilaaha Ilallahu, sedangkan do’a yang paling utama adalah al-Hamdulillah”. (Sunan at-Turmidzi no. 3383, Hadits hasan)
6. Mempererat Shilaturahim.
Disamping mengamalkan berbagai macam
bacaan diatas, didalam tahlilan juga sebagai sarana shilaturahim antara
kaum muslimin, baik kerabat atau pun tetangga sekitar, sehingga tercipta
ikatan yang lebih erat, disamping rasa kepedulian sesama muslimin.
Allah subhanahu wa Ta’alaa berfirman :
وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisaa’ : 1)
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang menghubungkan
apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut
kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS Ar-Ra’d : 21).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang menginginkan diperluas rizkinya dan dimakmurkan usianya, maka sambunglah shilaturahim” (Shahih Bukhari no. 5986)
قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا
السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا
بِاللَّيْلِ، وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Rasulullah bersabda : Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah
makanan, sambunglah kasih sayang (lakukanlah shilaturahim), shalatlah
dimalam hari dimana manusia sedang tertidur, niscaya kalian akan masuk
surga dengan selamat”. (Sunan Ibni Majah no. 3251, hadits shahih)
7. Menumbuhkan Persaudaraan Sesama Muslim.
Dengan senantiasa bershilaturahim apalagi
bersama-sama dengan masyarakat muslim, maka akan dengan mudah tercipta
persaudaraan di antara kaum muslimin. Hal itu dikarenakan efek dari
kebaikan, rasa solidaritas, serta kerelaan seorang muslim untuk
mendo’akan saudaranya muslim lainnya, juga shilaturahim yang dilakukan.
Berbuat demikian, akan semakin menampakkan rasa persaudaraan sesama
Muslim, dimana berulang kali ditegaskan bahwa sesama muslim adalah
bersaudara :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua
saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
(QS. Al-Hujuraat : 10)
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Orang mukmin bagi mukmin lainnya seperti sebuah bangunan dimana sebagiannya menguatkan bagian lainnya” (Shahih Muslim no. 2585)
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: ” مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ،
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى
لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang mukmin di
dalam hal kasih sayang, rahmat dan kelemah lembutan laksana satu tubuh
jika salah satu bagian tubuh merasa sakit maka seluruh tubuh ikut
merasakannya dengan panas dan demam”. (Shahih Muslim no. 2586)
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang memberikan rasa selamat kepada muslim lainnya dari lisannya dan tangannya”. (Shahih Bukhari no. 10)
Dengan menyadari hal ini, maka tidak akan
mudah menyakiti sesama muslim dengan berbagai tuduhan-tudahan yang
mengiris hati saudaranya.
8. Sebagai sarana syi’ar Islam
Tahlilan juga sebagai sarana penyebaran
Islam yang sangat ampuh, disamping juga dalam menampakkan syi’ar Islam,
sehingga masyarakat muslim terlihat jelas dengan kebiasaan yang ada
dilingkungannya. Itulah bentuk ketakwaan yang telah Allah Subhanahu wa
Ta’alaa nyatakan didalam al-Qur’an :
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah , maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj : 32)
9. Shadaqah (menggalakkan shadaqah bagi yang mampu).
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan
shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka. (QS. an-Anfaal : 3)
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran : 92)
وَالصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Shalat adalah nur, shadaqah adalah bukti (burhan), shabar adalah sinar, dan al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau terhadapmu”. (Shahih Muslim no. 223)
10. Terkait dengan memulyakan tamu
Dalam rangka memulyakan (menghormati)
tamu yang hadir, biasanya tuan rumah menghidangkan beberapa makanan
ringan, motivasi seperti ini merupakan anjuran sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka mulyakanlah tamunya”. (Shahih Bukhari no. 6018)
11. Niat baik dan ucapan yang baik
Tujuan-tujuan melakukan tahlilan tentunya
tidak lepas dari niat shalih, baik dari sisi tuan rumah seperti dalam
rangka mengajak kaum muslimin untuk mendo’akan saduaranya yang meninggal
dunia, menghormati tamu, menshadaqahkan hartanya sendiri yang pahalanya
dihadiahkan untuk yang meninggal dan lain sebagainya. Ataupun dari sisi
kaum muslimin yang hadir, juga dalam rangka mendo’akan saudaranya yang
telah meninggal, memenuhi undangan, menghibur keluarga almarhum dan lain
sebagainya. Niat baik inilah yang dinilai serta apa yang diucapkan
tidak akan pernah sia-sia, sebagaimana sabda Nabi shallalllahu ‘alaihi
wa sallam :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal-amal tergantung dengan niatnya” (Shahih Bukhari no. 1)
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ
وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ
يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ
هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ
حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ
هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ
حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا
اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
“Sesungguhnya Allah mencatat
kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelakan yang
demikian, maka barangsiapa yang berkeinginan melakukan kebaikan namun
tidak sampai melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya
kebaikan yang sempurna, maka jika ia berkeinginan dengannya kemudian
melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya sepuluh macam
kebaikan sampai 700 kali lipat kemudian hingga berlipat-lipat yang
banyak ; barangsiapa yang berkeinginan melakukan keburukan namun ia
tidak mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya kebaikan yang
sempurna, namun jika ia mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan
untuknya satu macam keburukan”. (Shahih Bukhari no. 6491)
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf : 18)
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ
الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ
الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah
kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik
dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir : 10)
Demikianlah sunnah-sunnah yang terdapat
dalam tradisi tahlilan yang sudah umum berkembang di Nusantara, jadi
tidak tepat kalau dikatakan tahlilan itu tidak ada dalilnya dari
al-Quran dan as-Sunnah.
Kemudian apabila dikatakan: “Bahwa
tradisi tahlilan dan selamatan tujuh hari itu mengadopsi dari
orang-orang Hindu. Sudah jelas kita tidak boleh meniru-niru orang
Hindu.”
Pernyataan seperti ini tentu saja
tidak wajar. Ada perbedaan antara tradisi Hindu dengan Tahlilan.
Dalam tradisi Hindu, selama tujuh hari dari kematian, biasanya
diadakan ritual selamatan dengan hidangan makanan yang diberikan
kepada para pengunjung, disertai dengan acara sabung ayam,
permainan judi, minuman keras dan kemungkaran lainnya.
Sedangkan dalam tahlilan, tradisi
kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam tradisi Tahlilan, diisi
dengan bacaan al-Qur’an, dzikir bersama kepada Allah Ta’aala serta
sedekah yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Jadi, antara
kedua tradisi tersebut jelas berbeda.
Dalam acara tahlilan selama tujuh
hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada
hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran.
Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu. Dan seandainya tasyabuh dengan orang Hindu dalam selamatan tujuh hari tersebut
dipersoalkan, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah
mengajarkan kita cara menghilangkan tasyabuh (menyerupai orang-orang
ahlul kitab) yang dimakruhkan dalam agama, dalam sebuah hadits shahih,
Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda:
Ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata:
“Setelah Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berpuasa pada hari
Asyura dan memerintahkan kaum Muslimin juga berpuasa, mereka
berkata: “Wahai Rasulullah, hari Asyura itu diagungkan oleh
orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa
sallam menjawab: “Kalau begitu, tahun depan, kita berpuasa pula
tanggal sembilan.” Ibn Abbas berkata: ‘Tahun depan belum sampai
ternyata Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah wafat” (HR.
Muslim dan Abu Dawud).
Dalam hadits di atas, para sahabat
menyangsikan perintah puasa pada hari Asyura, di mana hari
tersebut juga diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Sementara Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah menganjurkan
umatnya agar selalu menyelisihi (mukhalafah) orang-orang Yahudi dan
Nasrani. Temyata Rasulullah memberikan petunjuk, cara menyelisihi
mereka, yaitu dengan berpuasa sejak sehari sebelum Asyura, yang
disebut dengan Tasu’a', sehingga tasyabbuh tersebut menjadi hilang.
Kemudian apabila dikatakan: “Orang yang
bertaqlid kepada Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi 2, mengapa
tidak juga bertaqlid kepada beliau dalam membenci selamatan kematian?
Imam Syafi’i berkata dalam kitabnya Al-Umm, “Aku tidak suka ma’tam yaitu
berkumpul (di rumah keluarga mayat-pen) meskipun di situ tiada tangisan
karena hal tersebut malah akan menimbulkan kesedihan.”( Al-Umm oleh
Imam Syafi’i : juz 1; hal 248) “
Maka, perkataan tersebut adalah dusta atas nama al-Imaam asy-Syafi’i rahimahullaah. Mari kita lihat teksnya dari kitab al-Umm:
أكره المأتم، وهي الجماعة، وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر
Artinya:
“Aku menghukumi makruh Ma’tam, yakni sebuah kelompok, yang walaupun
tidak ada tangisan bagi mereka, sebab sesungguhnya hal itu akan
memperbaharui kesedihan dan membebani biaya beserta apa yang pernah
terjadi”.
Beliau berkata demikian dalam konteks ilmu fiqh. Kalimah أكره tidak diartikan benci/tidak suka apalagi haram. Dan kalimah أكره tersebut artinya adalah “Aku menghukumi makruh”.
Kita bahas ma’tam terlebih dahulu, makna
ma’tam secara lughawi diambil dari kata atama – ya’timu, artinya adalah
“dikumpulkannya dua buah perkara”. Sedang yang dimaksud ma’tam dalam
konteks pendapat imam asy-Syafi’i ini adalah setiap berkumpulnya dari
laki-laki atau perempuan kepada keluarga yang ditinggal wafat sehingga
ditakutkan terjadi ratapan atas yang wafat.
Selanjutnya Imam asy-Syafi’i menghukumi makruh atas ‘illat yang beliau sebutkan sendiri yaitu:
يجدد الحزن، ويكلف المؤنة
Artinya: “Memperbaharui kesedihan, dan membebani biaya “.
Sehingga apabila tidak ada ‘illat ini
maka hukum makruh itu juga tidak ada, sebab di dalam salah satu kaidah
ushul fiqh disebutkan: “al-’Illatu tadillu ‘alaa al-Hukmi” maknanya
‘illat itu menunjukkan atas hukum.
Itu artinya jika berkumpulnya manusia kepada keluarga yang ditinggal wafat tidak menyebabkan
“يجدد الحزن، ويكلف المؤنة “, maka hal yang demikian (berkumpulnya manusia) tersebut tidak dihukumi makruh.
Jadi tidak benar kalau al-Imaam asy-Syafi’i rahimahullaah membenci bahkan mengharamkan ma’tam.
Sumber : http://jundumuhammad.net