Ziarah

Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama UPI sedang berziarah bersama

KMNU UPI di Acara harlah KMNU IPB ke-6

Sunday, May 19, 2013

Penjelasan Tentang Penetapan Waktu Imsakiyyah Oleh al-Imam ibn Hajar al-Asqallani Rahimahullaah



Ada sebagian pendapat dari beberapa kalangan bahwasanya penetapan waktu imsakiyyah adalah bid’ah, perkara baru yang tidak ada asalnya di dalam agama (lihat http://muslim.or.id/ramadhan/kekeliruan-pensyariatan-waktu-imsak.html). Apakah benar demikian?

Untuk itu, sebaiknya mari kita kaji penjelasan dari salah seorang imam kita, imam ahlussunnah wal jama’ah, imam yang diakui keilmuannya, seorang imam yang memiliki kompetensi di dalam agama ini untuk menjelaskan al-Quran dan as-Sunnah, yaitu al-Imam ibn Hajar al-Asqallani rahimahullaah. Bagaimana pendapat dan penjelasan beliau berkaitan dengan penetapan waktu imsakiyyah ini?

Di dalam kitab shahih al-Bukhari disebutkan sebuah hadits shahih:




“Telah meriwayatkan hadits kepada kami Muslim bin Ibrahim, telah meriwayatkan hadits kepada kami Hisyam, telah meriwayatkan hadits kepada kami Qatadah, dari Anas dari Zaid bin Tsabit Radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata: Kami pernah makan sahur bersama Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami berangkat mendirikan sholat (Shubuh). Maka aku (Anas) berkata: Berapa lama jeda waktu antara adzan dengan sahur? Zaid menjawab: Khomsiina Aayah (lamanya kurang lebih sekadar membaca 50 ayat daripada al-Qura’an).” [Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=12&vtocid=3000].
Mengenai hadits ini, mari kita kaji bersama-sama syarah atas hadits ini di dalam kitab beliau yang bernama Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=7&vbid=26&vtocid=2668) :
 
“Mengenai perkataan beliau (Bab Tentang Jeda Waktu antara Sahur dengan Sholat Shubuh). Yakni antara berakhirnya waktu sahur dan dimulainya sholat, karena sesungguhnya yang dimaksud dengan penetapan jeda waktu adalah waktu dari berhentinya makan (sahur), dan yang dimaksud dengan melakukan shalat adalah permulaan  daripada dimulainya shalat. Sebagaimana dikatakan oleh az-Zain bin al-Munir.”
Kemudian beliau melanjutkan:
“Perkataan (Beliau berkata: kadar waktu membaca 50 ayat) yaitu bacaan yang pertengahan (sedang-sedang saja) bukan bacaan yang panjang atau bacaan yang pendek, tidak dibaca secara cepat maupun dibaca secara  lambat.”

“Telah berkata al-Mihlab dan yang lainnya: di dalamnya terdapat penentuan atas perkiraan kadar lamanya jeda waktu itu dengan berdasarkan atas perbuatan badan, dan pada umumnya orang-orang Arab menentukan perkiraan waktu dengan amalan badan, seperti halnya dengan ukuran sekedar memerah susu kambing, atau ukuran waktu sekadar memotong akar, maka Zaid bin Tsabit menetapkan perkiraan kadar waktu tersebut dengan qiro’ah (bacaan ayat-ayat al-Qur’an), selain itu hal yang demikian ini juga menandakan bahwa waktu tersebut adalah waktu untuk ibadah dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an, andaikata kebiasaan orang-orang Arab di dalam menentukan kadar waktu itu tidak dengan amalan badan, maka Zaid pun akan berkata dengan perkataan seperti: seukuran derajat sekian, atau sepertiga, seperlima jam.”
Dari penjelasan al-Imam ibn Hajar al-Asqallani rahimahullaah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya jeda waktu antara selesainya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dari makan sahur hingga adzan Shubuh adalah sekitar bacaan 50 ayat al-Qur’an yang dibaca tidak terlalu cepat maupun terlalu lambat, dan ayat yang dibaca juga bukan ayat-ayat yang terlalu panjang maupun ayat-ayat yang terlalu pendek.

Dan sungguh tidak tepat jika diambil kesimpulan bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam makan sahur hingga adzan shubuh sebagaimana yang diklaim oleh beberapa kalangan, dan bahkan mereka menganggap penetapan jeda waktu antara selesai makan sahur dengan adzan shubuh termasuk bid’ah. Tentu kesimpulan dan pendapat yang seperti ini sangat bertentangan dengan sunnah. Karena penetapan jeda waktu antara selesai makan sahur dengan adzan shubuh sekitar bacaan 50 ayat-ayat al-Qur’an ini ada dalilnya yang shahih.

Masih di dalam kitab Shahih al-Bukhari, di situ juga dicantumkan hadits lain berkenaan dengan jeda waktu antara selesai makan sahur dengan adzan shubuh:
“Meriwayatkan hadits kepada kami Hasan bin Shabbaah, ia mendengar dari Rawwah bin ‘Ubadah, meriwayatkan kepada kami Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit keduanya bersahur bersama-sama. Maka apabila telah selesai mereka berdua daripada makan sahur, maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk mendirikan sholat (shubuh). Kami bertanya kepada Anas: Berapa lama jeda waktu antara selesainya makan sahur dengan masuknya waktu sholat? Ia menjawab: Lamanya jeda waktu adalah sekira bacaan seseorang daripada 50 ayat-ayat al-Qur’an.” (Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=12&vtocid=921).
Selain itu, masih di kitab Shahih al-Bukhari disebutkan pula riwayat dengan redaksi yang sama namun berbeda jalur periwayatan:
“Telah meriwayatkan hadits kepada kami Ya’qub bin Ibrahim ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Rawwah, ia berkata telah meriwayatkan hadits kepada kami Sa’id bin Abi ‘Urubah dari Qatadah dari Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ;anhu makan sahur bersama-sama. Maka apabila selesai mereka berdua daripada makan sahur, maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk mendirikan sholat. Maka kami bertanya kepada Anas: Berapa lama jeda waktu antara selesainya makan sahur dengan masuknya waktu sholat? Ia menjawab: Lamanya jeda waktu adalah sekira bacaan seseorang daripada 50 ayat-ayat al-Qur’an.” (Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=3&vbid=12&vtocid=1798).
al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullaah di dalam kitab al-Umm, beliau menjelaskan tentang tata cara bersahur:
“Imam asy-Syafi’i berkata: Disunnahkan untuk tidak tergesa-gesa dan berhati-hati pada waktu bersahur, agar jangan sampai mendekati waktu fajar, ditakutkan bahwa fajar akan timbul lebih awal, maka aku lebih suka memutus makan sahur pada waktu itu.” (al-Umm, juz: 2, halaman 105) Lihat http://maktabah.jundumuhammad.net/read.php?vcid=5&vbid=20&vtocid=436, baris ke-tiga dari bawah.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah pun menerapkan sunnah Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam bersahur, yakni memberi jeda waktu antara selesainya makan sahur dengan masuknya waktu didirikannya sholat shubuh.

Nah, jeda waktu antara selesainya makan sahur dengan adzan shubuh inilah yang dikenal dengan istilah Waktu Imsak.

Demikian sedikit penjelasan tentang disunnahkannya waktu imsak sebagai sanggahan bagi mereka yang berpendapat bahwa penetapan waktu imsak adalah termasuk bid’ah.

Wallaahu a’lam.
sumber : http://jundumuhammad.net


Untaian senandung dari Yang Mulia Baginda Rasulullah Shollallaah 'alaih wa sallam

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ يَنْقُلُ مَعَنَا التُّرَابَ وَهُوَ يَقُولُ

Kulihat Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam di saat hari membangun Khandaq, Beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam memindahkan tanah sambil bersenandung :

وَاللَّهِ لَوْلَا اللَّهُ مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا صُمْنَا وَلَا صَلَّيْنَا

Demi Allah kalau bukan karena Allah kita tak akan mendapat    petunjuk, tidak pula kita shalat, tidak pula kita puasa,

فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا وَثَبِّتْ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا

Maka turunkanlah ketenangan sakinah pada kami,
Dan kuatkan langkah langkah kami jika menemui musuh musuh kami,

وَالْمُشْرِكُونَ قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا

Dan musyrikin telah murka dan benci pada kami, mereka menginginkan pertempuran dan fitnah, dan kami tidak menginginkannya”
(Shahih Bukhari: 6130)

sumber :http://jundumuhammad.net

Saturday, May 11, 2013

Sunnah-sunnah yang Terdapat di dalam Tahlilan

Selama ini mungkin telah bertebaran persepsi yang keliru dari kalangan yang tidak menyukai tradisi tahlilan yakni bahwa kaum Muslimin yang melakukan tahlilan adalah pelaku bid’ah sesat dan melawan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan-akan yang melakukan tahlilan telah meninggalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pelakunya menjadi berdosa dan masuk neraka.

Tudingan yang semacam ini tentunya tidak tepat, karena meskipun diakui bahwasanya tradisi tahlilan yang berkembang di nusantara ini adalah termasuk perkara baru (bid’ah), namun perkara baru ini memiliki landasan-landasan dalil dari al-Quran dan Sunnah, sehingga perkara baru yang demikian ini jatuh ke dalam hukum syara’ Sunnah. Pembagian bid’ah yang demikian ini berdasarkan pendapat al-Imaam al-Izzuddin ibn Abd as-Salaam rahimahullaah yang mana beliau berpendapat bahwa bid’ah itu bukan hukum syara’, sehingga bid’ah dapat jatuh ke dalam hukum syara’ yang lima (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) dan apabila berkaitan dengan mu’amalah ditambah dengan sah dan batal. 

Dan ada pula pendapat bahwa cikal akal tradisi tahlilan ini sejatinya sudah ada sejak sebelum zamannya ibn Taimiyyah al-Harrani salah  (seorang ulama’ yang dijadikan rujukan utama kaum Salafi Wahabi) di abad 7 H, hal ini dapat diketahui dari keterangan yang diambil dari Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa:

وسئل: عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم: هذا الذكر بدعة وجهركم في الذكر بدعة وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة ويصلون على النبي صلى الله عليه وسلم

Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia mengatakan kepada mereka (ahli dzikir) “Ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum muslimin yang hidup maupun yang sudah wafat, mereka mengumpulkan antara bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah (Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billah), mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam..

فأجاب: الاجتماع لذكر الله واستماع كتابه والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات في الأوقات ففي الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: {إن لله ملائكة سياحين في الأرض فإذا مروا بقوم يذكرون الله تنادوا هلموا إلى حاجتكم} وذكر الحديث وفيه {وجدناهم يسبحونك ويحمدونك} لكن ينبغي أن يكون هذا أحيانا في بعض الأوقات والأمكنة فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه في الجماعات من الصلوات الخمس في الجماعات ومن الجمعات والأعياد ونحو ذلك. وأما محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة أو القراءة أو الذكر أو الدعاء طرفي النهار وزلفا من الليل وغير ذلك: فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من عباد الله قديما وحديثا

Jawab: Berkumpul untuk dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih, dan itu termasuk dari paling utamanya qurubat (amal mendekatkan diri kepada Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam hadits Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika mereka melewati sebuah kaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para malaikat) berseru : “Silahkan sampaikan hajat kalian”. Dan disebutkan di dalam hadits tersebut, terdapat redaksi “Dan kami menemukan mereka bertasbih kepada-Mu dan bertahmid memuji-Mu”, akan tetapi selayaknya hal ini di hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berketerusan dalam jama’ah seperti shalat 5 waktu (dilakukan) dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya, maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang. (Majmu’ al-Fatawa [22/520-521])
Dan  memang demikianlah adanya, sebab kalau dicermati secara seksama dan terperinci, maka sesungguhnya pelaku tradisi tahlilan ini justru melakukan amalan-amalan sunnah yang terkandung di dalam kegiatan tahlilan, dan tradisi ini dapat memotivasi kaum Muslimin lainnya untuk melakukan sunnah. Masyarakat digiring untuk melakukan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama-sama sehingga tercipta sikap kepedulian hingga persatuan kaum Muslimin. Misalnya ketika mengadakan kegiatan tradisi tahlilan yang telah menjadi kebiasaan di masyarakat Muslim maka sesungguhnya mereka telah membiasakan diri dengan sunnah-sunnah sebagai berikut :

1. Masyarakat berkumpul dalam sebuah majelis dzikir, perhatikan bukankah ini memang sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?. Banyak hadits yang masyhur tentang hal ini, misalnya :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ

“Sesungguhnya Nabi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : apabila kalian berjalan ke taman surga maka bergabunglah kalian”, para sahabat bertanya : “apa itu taman surga (riyadlul jannah) ?”, Nabi menjawab : “Perkumpulan dzikir”. (Sunan at-Turmidzi no. 3510 ; hadits ini dinilai hasan)

لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah sekelompok orang berkumpul dan berdzikir kepada Allah kecuali mereka dikelilingi oleh para Malaikat, diliputi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah sebut mereka di kalangan para Malaikat yang mulia”. (Shahih Muslim no. 2700 ; Musnad Ahmad no. 11875)

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ اللهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ

“Tidaklah sebuah kaum berkumpul berdzikir kepada Allah, karena mereka tiada menginginkan dengan hal itu kecuali keridlaan Allah, maka malaikat akan menyeru dari langit, bahwa berdirilah kalian dengan pengampunan bagi kalian, sungguh keburukan kalian telah digantikan dengan kebaikan”. (Musnad Ahmad no. 12453)
Dan mengenai dalil-dalil dzikir berjama’ah ini ada pembahasan tersendiri yang diambil dari kitab al-Haawi li al-Fatawi sub Bab Natijat al-Fikr fi al-Jahr fi adz-Dzikr karya al-Imaam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullaah, silakan baca di link http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/07/17/dalil-dalil-diperbolehkannya-berdzikir-secara-jahr-dan-secara-berjamaah/
2. Membaca al-Qur’an
Membaca al-Qur’an merupakan amaliyah yang dapat dibaca kapan saja juga termasuk daripada dzikir, dan inilah yang juga dibiasakan dibaca ketika tradisi tahlilan. Masyarakat digiring untuk bersama-sama membaca al-Qur’an, lebih itu masyarakat juga diajarkan kepedulian terhadap yang meninggal dengan menghadiahkan pahalanya kepada orang mati. Hal ini, disamping di tuntut keikhlasan dari yang membaca, juga bagi yang mengajaknya terdapat pahala tersendiri, sebab tiada yang sia-sia ketika mengajak kepada kebaikan.
Surah-surah yang dibaca adalah surah-surah yang memang mudah untuk dibaca oleh masyarakat awam sekalipun sehingga tidak memberatkan atau memudahkan mereka. Misalnya membaca beberapa ayat pada surah al-Baqarah, al-Ikhlas, an-Naas, al-Falaq, Yasiin, dan lain sebagainya. Semua ayat-ayat ini mudah dibaca, sedangkan Allah berfirman :

فَاقْرَؤُا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Maka bacalah oleh kalian apa yang mudah dari al-Qur’an” (QS. Al-Muzammil : 20)
Disamping itu banyak fadlilah di dalam membaca al-Qur’an, diantaranya sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan :

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ، وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ، تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ، وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ

“Bacalah oleh kalian al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat kepada pembaca-pembacanya. Bacalah oleh kalian Az-Zahrawayn yakni Surah al-Baqarah dan surah Ali Imran, karena sungguh keduanya akan datang pada hari Qiamat laksana dua gumpalan awan atau laksana dua cahaya yang menyinari atau laknna dua kelompok burung yang (saling) membentangnya sayapnya dimana akan menjadi pembela bagi pembaca keduanya, bacalah surah al-Baqarah karena mengambilnya merupakan keberkahan, dan meninggalkannya mendapat penyesalan, sedangkan para tukang sihir tidak akan mempan dengannya”. (Shahih Muslim no. 804)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

مثل المؤمن الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ: كَالأُتْرُجَّةِ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ، وَالمُؤْمِنُ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ، وَيَعْمَلُ بِهِ: كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلاَ رِيحَ لَهَا، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ: كَالرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ: كَالحَنْظَلَةِ، طَعْمُهَا مُرٌّ – أَوْ خَبِيثٌ – وَرِيحُهَا مُرٌّ

“Perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan al-Qur’an, seperti buah Utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak”. (Shahih Bukhari no. 5059 & 5427 ; Shahih Muslim no. 797 ; Sunan At-Turmidzi no. 2865)
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ إِذَا دَخَلَ الْجَنَّةَ اقْرَأْ وَاصْعَدْ، فَيَقْرَأُ وَيَصْعَدُ بِكُلِّ آيَةٍ دَرَجَةً حَتَّى يَقْرَأَ آخِرَ شَيْءٍ مَعَهُ

“Kelak akan dikatakan kepada shahibul Qur’an (pembaca al-Qur’an) ketika memasuki surga, bacalah kemudian naiklah (derajat), maka kemudian ia membacanya dan naiklah derajatnya dengan tiap-tiap ayat hingga sampai ayat terakhir yang ia baca” (Sunan Ibnu Majah no. 3780, hadits ini shahih)
Selain banyaknya fadlilah berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas, juga masing-masing surah dalam al-Qur’an memiliki fadliyah tertentu, seperti surah al-Fatihah yang juga dibaca pada kegiatan tahlilan, dimana diantara fadlilahnya adalah :

قُلْتُ لَهُ: «أَلَمْ تَقُلْ لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ سُورَةٍ فِي القُرْآنِ ، قَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ المَثَانِي، وَالقُرْآنُ العَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ

“Aku (Abu Sa’ad al-Mu’alla) bertanya (kembali) kepada Rasulullah : “bukankah tadi engkau berkata : aku akan mengajarkan kamu surah yang paling agung didalam al-Qur’an ?, Rasulullah bersabda : “al-Hamdulillahi Rabbil ‘alamiin (al-Fatihah), ia adalah As-Sab’u al-Matsani dan al-Qur’an yang agung yang telah diberikan”. (Shahih Bukhari no. 4474)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

قَالَ: ” أَلَا أُخْبِرُكَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ جَابِرٍ بِخَيْرِ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ؟ ” قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: ” اقْرَأِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حَتَّى تَخْتِمَهَا

“Maukah engkau aku khabarkan wahai Abdullah bin Jabir tentang surah yang paling bagus didalam al-Qur’an?, aku (Jabir) berkata : “Iya wahai Rasulullah”, kemudian Rasulullah bersada : “Bacalah al-Hamdulillahi rabbil ‘alamiin hingga selesai (al-Fatihah)”. (Musnad Ahmad no. 17597)
Kemudian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang juga terkait dengan surah al-Baqarah :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: ” هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَسَلَّمَ، وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ

“dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : “ketika Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendengar suara dari atasnya, seraya mengangkat kepalanya, kemudian berkata : “Pintu ini berasal dari langit yang dibuka pada hari ini yang belum pernah di buka kecuali hari ini, kemudian seorang malaikat turun dari pintu itu, dan berkata Jibaril : “malaikat ini turun ke bumi yang tidak pernah turun kecuali hari ini, maka mengucapkan salam dan berkata : “bergemberilah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu yang tidak pernah diberikan kepada Nabi sebelum engkau, yakni Fatihatul Kitab (al-Fatihah) dan ayat-ayat penutup surah al-Baqarah, tidaklah engkau membaca satu huruf dari kedua surah tersebut kecuali engkau akan diberi karunia” . (Shahih Muslim no. 806)
Sebagaimana diketahui bahwa akhir surah al-Baqarah adalah ayat-ayat yang dibaca ketika tahlilan. Disamping itu juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa setan meninggalkan rumah yang dibacakan surah al-Baqarah :

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

“janganlah jadikan rumah kalian sebagai kuburan, karena sesungguhnya syaithan meninggalkan rumah yang dibacakan didalam surah al-Baqarah” (Shahih Muslim no. 780)

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، وَإِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي يُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ، لَا يَدْخُلُهُ الشَّيْطَانُ

“Sesungguhnya rumah yang dibacakan didalam surah al-Baqarah, niscaya tidak akan dimasuki oleh syaithan” (Musnad Ahmad no. 8914)
Ayat Kursiy juga merupakan ayat al-Qur’an yang dibaca ketika tahlilan :

قَالَ: يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ . قَالَ: فَضَرَبَ فِي صَدْرِي، وَقَالَ:  وَاللهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “wahai Abul Mundzir, tahukah engkau sebuah ayat dari Kitabullah (al-Qur’an) yang paling agung ?, Abul Munzir berkata : “aku berkata : Allahu Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyum Qayyum (al-Baqarah : 255)”, kemudian Rasulullah menepuk pundakku”, dan beliau bersabda : “semoga Allah mempermudahkan ilmu bagimu wahai Abul Mundzir”. (Shahih Muslim no. 810 ; Sunan Abi Daud no. 1460)
Di dalam Tahlilan juga dibaca surah al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas :

قَالُوا: وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : tidakkah salah satu dari kalian mampu membaca pada malam hari seperti tiga al-Qur’an ? sahabat berkata : bagaimana membaca sepertiga al-Qur’an ? Rasulullah menjawab: “Qul Huwallahu Ahad (al-Ikhlas) setara dengan sepertiga al-Qur’an.” (Shahih Muslim no. 811)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: أَقْبَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ . قُلْتُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: الجَنَّةُ

“Dari Abu Hurairah, ia berkata : aku datang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mendengar seorang laki-laki membaca Qul Huwallahu Ahad (surah al-Ikhlas), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “wajib”, aku berkata ; “wajib apa ?”, Rasulullah bersabda : “Surga”. (Sunan At-Turmidzi no. 2897, Hadits hasan shahih)

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ: بَيْنَا أَنَا أَقُودُ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاحِلَتَهُ فِي غَزْوَةٍ إِذْ قَالَ: «يَا عُقْبَةُ، قُلْ فَاسْتَمَعْتُ» ، ثُمَّ قَالَ: «يَا عُقْبَةُ، قُلْ فَاسْتَمَعْتُ» ، فَقَالَهَا الثَّالِثَةَ، فَقُلْتُ: مَا أَقُولُ؟، فَقَالَ: «قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ» فَقَرَأَ السُّورَةَ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَرَأَ: «قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ» وَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَرَأَ «قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ» فَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَالَ: «مَا تَعَوَّذَ بِمِثْلِهِنَّ أَحَدٌ»

“Dari Uqbah bin Amir al-Juhani, ia berkata : ketika aku menuntun kendaraan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan, tiba-tiba beliau berkata: “Wahai Uqbah, ucapkanlah,” aku pun mendengarkan, kemudian beliau berkata (lagi): “Wahai Uqbah, ucapkanlah,” aku pun mendengarkan. Dan beliau mengatakannya sampai tiga kali, lalu aku bertanya: “Apa yang aku ucapkan ?” Beliau pun bersabda : “Ucapkanlah Qul Huwallahu Ahad (al-Ikhlas), kemudian membacanya sampai akhir , kemudian membaca Qul A’udzu bi-Rabill Falaq (al-Falaq), , kemudian membacanya sampai akhir, kemudian membacanya Qul A’udzu bi-Rabbin Naas (an-Naas), kemudian aku membacanya sampai selesai, kemudian beliau bersabda : “tidak ada seorang pun yang berlindung seumpama orang yang berlindung dengannya”. (Sunan an-Nasaa’i no. 5430 , hadits ini shahih)
Dan masih banyak lagi bacaan-bacaan yang terkait al-Qur’an yakni surah al-Qur’an ataupun ayat al-Qur’an yang ada pada tahlilan dimana masing-masing memiliki keutamaan tersendiri. Tentunya tidak mungkin disebutkan dalam tulisan singkat ini.

3. Membaca Shalawat
Membaca shalawat sangat dianjurkan, apalagi pada sebuah majelis dzikir seperti tahlilan, dan banyaknya fadhilah yang terkandung didalamnya, seperti misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ

“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali niscaya Allah bershalawat kepadanya 10 kali, digugurkan sepuluh kesalahan-kesalahannya, dan di angkat sebanyak 10 derajat baginya” (Sunan an-Nasaa’i no. 1297, shahih)

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا ثُمَّ تَفَرَّقُوا عَنْ غَيْرِ صَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا تَفَرَّقُوا عَلَى أَنْتَنِ مِنْ رِيحِ الْجِيفَةِ

“Tidaklah duduk sebuah kaum kemudian mereka perpisah tanpa bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali mereka berpisah membawa yang lebih buruk dari bangkai” (As-Sunan al-Kubra an-Nasaai no. 10172 )

أوْلى النَّاسِ بي يَوْمَ القِيامَةَ أَكْثَرُهُمْ عَليَّ صَلاةً

Nabi bersabda: “Manusia yang paling utama pada hari qiyamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku”. (Sunan at-Turmidzi no. 484, hadits hasan ; Shahih Ibnu Hibban no. 911)

لا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيداً وَصَلُّوا عليَّ، فإنَّ صَلاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

“Janganlah kalian jadikan kuburku sebagai ‘ied dan bershalawatlah kepadaku, sebab sungguh shalawat kalian sampai kepadaku seketika kalian berada” . (Sunan Abi Daud no. 2042, hadits shahih)
4. Membaca Do’a.
Membaca doa sangat dianjurkan, apalagi berdo’a kebaikan untuk saudaranya baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Ditambah lagi dilakukan secara bersama-sama maka itu lebih dekat di ijabah. Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al-Mu’miin: 60)

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr : 10)

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal” (QS. Muhammad : 19)

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mu’min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. (QS. Ibrahim : 41)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.” (Shahih Muslim no. 2732)

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, “Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu” (Shahih Muslim no. 2733)

عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، قَالَ: إِنَّ دَعْوَةَ الْأَخِ فِي اللَّهِ تُسْتَجَابُ

“Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia berkata : sungguh mendo’akan saudaranya karena Allah adalah mustajab” (Al-Jami’ fil Hadits li-Ibni Wahab no. 161 ; Adabul Mufrad [624])
5. Membaca Dzikir –Dzikir yang lain.
Dzikir-dzikir lainnya semisal istighfar, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan lain sebagainya. Telah banyak tersebar mengenai faidah-faidahnya. Inilah juga yang dibiasakan di dalam tradisi tahlilan, maka betapa banyak faidah yang didapat oleh mereka yang senantiasa membacanya apalagi dilakukan bersama-sama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ” مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ

“Barangsiapa yang mengucapkan : “Subhanallahil ‘Adhim wa Bihamdih” ditanamkan baginya sebatang pohon kurma di surga”. (Sunan at-Turmidzi no. 3464, hadits hasan shahih)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ

“Barangsiapa yang mengucapkan “Subhanallah wa bi-Hamdih” didalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya dihapus kesalahan-kesalahannya walaupun laksana buih di lautan”. (Shahih Bukhari no. 6405)

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “dua kalian yang ringan di lisan (diucapkan), keduanya berat di timbangan dihadapan Yang Maha Penyayang, yakni Subhanallahil ‘Adhim, Subhanallahi wa bi-Hamdihi”. (Shahih Bukhari no. 6406)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “dua kalian yang ringan di lisan (diucapkan), keduanya berat di timbangan serta dicintai oleh Yang Maha Penyayang, yakni Subhanallahi wa bi-Hamdihi, Subhanallaahil ‘Adhim”. (Shahih Bukhari no. 6682 ; Muslim no. 2694)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : sungguh jika aku mengucapkan Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa Ilaaha Illalla wa Allahu Akbar, lebih disukai bagiku daripada disinari oleh terbitnya mentari”. (Shahih Muslim no. 2695 ; Sunan At-Turmidzi no. 3597)

مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، عَشْرَ مِرَارٍ كَانَ كَمَنْ أَعْتَقَ أَرْبَعَةَ أَنْفُسٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ

“Barangsiapa yang mengucapkan : “laa ilaaha ilallaahu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kullli syay-in qadiir”, sebanyak sepuluh kali maka ia seperti orang yang memerdekakan budak empat jiwa seperti keturunan Nabi Ismail” (Shahih Muslim no. 2693)

قَالَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ: أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ، فَقُلْتُ: بَلَى، يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: ” قُلْ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, wahai Abdullah bin Qays, mau engkau ku tunjukkan pembendaharaan surga ?, maka aku (Ibnu Qays) berkata : iya wahai Rasulullah”, kemudian Rasulullah berkata : “katakanlah, “Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billaah”. (Shahih Muslim no. 2704)

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ؛ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ، فِي الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ: أَنَّهَا قَوْلُ الْعَبْدِ: اللهُ أَكْبَرُ. وَسُبْحَانَاللهِ. وَالْحَمْدُ للهِ. وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

“Kalimat-kalimat yang bagus yakni ucapan seorang hamba : “Subhanallah, al-Hamdulillah, laa ilaaha illaa Allah, laa hawla wa laa quwwata ilaa billah”. (Muwatha’ Malik no. 715)

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «اسْتَكْثِرُوا مِنَ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ» قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الْمِلَّةُ» ، قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الْمِلَّةُ» ، قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: التَّكْبِيرُ، وَالتَّهْلِيلُ، وَالتَّسْبِيحُ، وَالتَّحْمِيدُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : perbanyaklah kalian dengan kalimat-kalimat yang baik, dikatakan “apa itu wahai Rasulullah ?, beliau menjawab “al-Millah”, dikatakan lagi “Apa itu wahai Rasulullah?”, beliau menjawab : “al-Millah”, dikatakan lagi : “Apa itu wahai Rasulullah ?”, beliau menjawab : “Takbir, Tahlil, Tasbih, Tahmid, dan Laa Hawlaa wa laa Qawwata ilaa billaah”. (Musnad Ahmad no. 11713)

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَحَبُّ الْكَلَامِ إِلَى اللهِ أَرْبَعٌ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ. لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ

“perkataan yang paling dicintai oleh Allah adalah empat yakni “Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa Ilaaha Illallaahu wa Allahu Akbar”, tidak masalah bagimu memulai dari yang mana saja”. (Shahih Muslim no. 2137)

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: عَلِّمْنِي كَلَامًا أَقُولُهُ، قَالَ: ” قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ ” قَالَ: فَهَؤُلَاءِ لِرَبِّي، فَمَا لِي؟ قَالَ: قُلْ: اللهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

“Dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya, ia berkata : Seorang arab datang kepada Rasulullah seraya berkata : “Ajarkanlah kepadaku ucapakan untuk aku baca”, Rasulullah bersabda : katakanlah “laa ilaaha illaLlaah wahdahu laa syariyka lah, Allahu Akbar Kabiiran, wal Hamdulillahi Katsiran, Subhanallahi Rabbil ‘Alamiin, Laa Hawla wa laa Quwwata illaa bil-Laahil ‘Azizil Hakiim”, seorang Arab tersebut berkata : semua itu untuk Rabb-ku, namun mana untukku ?”, Rasullah bersabda : “katakanlah “Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, berilah petunjuk kepadaku dan limpahkanlah rizki kepadaku”. (Shahih Muslim no. 2696)

أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الحَمْدُ لِلَّهِ

“Dzikir yang utama adalah Laa ilaaha Ilallahu, sedangkan do’a yang paling utama adalah al-Hamdulillah”. (Sunan at-Turmidzi no. 3383, Hadits hasan)
6. Mempererat Shilaturahim.
Disamping mengamalkan berbagai macam bacaan diatas, didalam tahlilan juga sebagai sarana shilaturahim antara kaum muslimin, baik kerabat atau pun tetangga sekitar, sehingga tercipta ikatan yang lebih erat, disamping rasa kepedulian sesama muslimin. Allah subhanahu wa Ta’alaa berfirman :

وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisaa’ : 1)

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS Ar-Ra’d : 21).

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang menginginkan diperluas rizkinya dan dimakmurkan usianya, maka sambunglah shilaturahim” (Shahih Bukhari no. 5986)

قَالَ:  يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ، وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Rasulullah bersabda : Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah kasih sayang (lakukanlah shilaturahim), shalatlah dimalam hari dimana manusia sedang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat”. (Sunan Ibni Majah no. 3251, hadits shahih)
7. Menumbuhkan Persaudaraan Sesama Muslim.
Dengan senantiasa bershilaturahim apalagi bersama-sama dengan masyarakat muslim, maka akan dengan mudah tercipta persaudaraan di antara kaum muslimin. Hal itu dikarenakan efek dari kebaikan, rasa solidaritas, serta kerelaan seorang muslim untuk mendo’akan saudaranya muslim lainnya, juga shilaturahim yang dilakukan. Berbuat demikian, akan semakin menampakkan rasa persaudaraan sesama Muslim, dimana berulang kali ditegaskan bahwa sesama muslim adalah bersaudara :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat : 10)

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Orang mukmin bagi mukmin lainnya seperti sebuah bangunan dimana sebagiannya menguatkan bagian lainnya” (Shahih Muslim no. 2585)

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang yang mukmin di dalam hal kasih sayang, rahmat dan kelemah lembutan laksana satu tubuh jika salah satu bagian tubuh merasa sakit maka seluruh tubuh ikut merasakannya dengan panas dan demam”. (Shahih Muslim no. 2586)

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah orang yang memberikan rasa selamat kepada muslim lainnya dari lisannya dan tangannya”. (Shahih Bukhari no. 10)
Dengan menyadari hal ini, maka tidak akan mudah menyakiti sesama muslim dengan berbagai tuduhan-tudahan yang mengiris hati saudaranya.

8. Sebagai sarana syi’ar Islam
Tahlilan juga sebagai sarana penyebaran Islam yang sangat ampuh, disamping juga dalam menampakkan syi’ar Islam, sehingga masyarakat muslim terlihat jelas dengan kebiasaan yang ada dilingkungannya. Itulah bentuk ketakwaan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’alaa nyatakan didalam al-Qur’an :

وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah , maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj : 32)
9. Shadaqah (menggalakkan shadaqah bagi yang mampu).

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. an-Anfaal : 3)

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ

“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran : 92)

وَالصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

“Shalat adalah nur, shadaqah adalah bukti (burhan), shabar adalah sinar, dan al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau terhadapmu”. (Shahih Muslim no. 223)
Dan perihal tradisi bersedekah untuk mayyit yang terdapat di dalam rentetan kegiatan tahlilan ini ada landasan shohih dari para salaf ash-sholih, lihat pembahasannya di link ini: http://jundumuhammad.wordpress.com/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/
10. Terkait dengan memulyakan tamu
Dalam rangka memulyakan (menghormati) tamu yang hadir, biasanya tuan rumah menghidangkan beberapa makanan ringan, motivasi seperti ini merupakan anjuran sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka mulyakanlah tamunya”. (Shahih Bukhari no. 6018)
11. Niat baik dan ucapan yang baik
Tujuan-tujuan melakukan tahlilan tentunya tidak lepas dari niat shalih, baik dari sisi tuan rumah seperti dalam rangka mengajak kaum muslimin untuk mendo’akan saduaranya yang meninggal dunia, menghormati tamu, menshadaqahkan hartanya sendiri yang pahalanya dihadiahkan untuk yang meninggal dan lain sebagainya. Ataupun dari sisi kaum muslimin yang hadir, juga dalam rangka mendo’akan saudaranya yang telah meninggal, memenuhi undangan, menghibur keluarga almarhum dan lain sebagainya. Niat baik inilah yang dinilai serta apa yang diucapkan tidak akan pernah sia-sia, sebagaimana sabda Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amal-amal tergantung dengan niatnya” (Shahih Bukhari no. 1)

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً

“Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelakan yang demikian, maka barangsiapa yang berkeinginan melakukan kebaikan namun tidak sampai melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, maka jika ia berkeinginan dengannya kemudian melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya sepuluh macam kebaikan sampai 700 kali lipat kemudian hingga berlipat-lipat yang banyak ; barangsiapa yang berkeinginan melakukan keburukan namun ia tidak mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, namun jika ia mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya satu macam keburukan”. (Shahih Bukhari no. 6491)

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf : 18)

مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir : 10)
Demikianlah sunnah-sunnah yang terdapat dalam tradisi tahlilan yang sudah umum berkembang di Nusantara, jadi tidak tepat kalau dikatakan tahlilan itu tidak ada dalilnya dari al-Quran dan as-Sunnah.

Kemudian apabila dikatakan: “Bahwa tradisi tahlilan dan selamatan tujuh hari itu mengadopsi dari orang-orang Hindu. Sudah jelas kita tidak boleh meniru-niru orang Hindu.”

Pernyataan  seperti  ini  tentu  saja  tidak  wajar.  Ada  perbedaan  antara tradisi  Hindu  dengan  Tahlilan.  Dalam  tradisi  Hindu,  selama  tujuh  hari  dari kematian, biasanya diadakan  ritual selamatan dengan hidangan makanan yang diberikan  kepada  para  pengunjung,  disertai  dengan  acara  sabung  ayam, permainan judi, minuman keras dan kemungkaran lainnya.

Sedangkan dalam tahlilan, tradisi kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam tradisi Tahlilan, diisi dengan bacaan al-Qur’an, dzikir bersama kepada Allah Ta’aala serta  sedekah  yang  pahalanya  dihadiahkan  kepada  mayit.  Jadi, antara kedua tradisi tersebut jelas berbeda. 

Dalam  acara  tahlilan  selama  tujuh  hari  kematian,  kaum  Muslimin  berdzikir kepada Allah, ketika pada hari  tersebut orang   Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran.  Betapa  indah  dan mulianya  tradisi  tahlilan  itu. Dan  seandainya tasyabuh  dengan  orang Hindu dalam selamatan  tujuh  hari  tersebut dipersoalkan,  Rasulullah  Shollallaah ‘alaih wa sallam telah  mengajarkan  kita  cara  menghilangkan tasyabuh (menyerupai orang-orang ahlul kitab) yang dimakruhkan dalam agama, dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda:
Ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata:  “Setelah Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berpuasa  pada  hari Asyura  dan memerintahkan  kaum  Muslimin  juga  berpuasa,  mereka  berkata:  “Wahai Rasulullah, hari Asyura  itu diagungkan oleh   orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Rasulullah  Shollallaah ‘alaih wa sallam menjawab:  “Kalau  begitu,  tahun  depan,  kita  berpuasa  pula tanggal  sembilan.”  Ibn  Abbas  berkata:  ‘Tahun  depan  belum  sampai  ternyata Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah wafat” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Dalam  hadits  di  atas,  para  sahabat  menyangsikan  perintah  puasa  pada  hari Asyura,  di  mana  hari  tersebut  juga  diagungkan  oleh  orang-orang  Yahudi  dan Nasrani. Sementara Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam telah menganjurkan  umatnya  agar  selalu menyelisihi  (mukhalafah) orang-orang Yahudi dan Nasrani. Temyata Rasulullah memberikan  petunjuk,  cara  menyelisihi  mereka,  yaitu  dengan  berpuasa  sejak sehari  sebelum  Asyura,  yang  disebut  dengan  Tasu’a',  sehingga  tasyabbuh tersebut menjadi hilang.

Kemudian apabila dikatakan: “Orang yang bertaqlid kepada Imam Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi 2, mengapa tidak juga bertaqlid kepada beliau dalam membenci selamatan kematian? Imam Syafi’i berkata dalam kitabnya Al-Umm, “Aku tidak suka ma’tam yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayat-pen) meskipun di situ tiada tangisan karena hal tersebut malah akan menimbulkan kesedihan.”( Al-Umm oleh Imam Syafi’i : juz 1; hal 248) “

Maka, perkataan tersebut adalah dusta atas nama al-Imaam asy-Syafi’i rahimahullaah. Mari kita lihat teksnya dari kitab al-Umm:

أكره المأتم، وهي الجماعة، وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر

Artinya:
“Aku menghukumi makruh Ma’tam, yakni sebuah kelompok, yang walaupun tidak ada tangisan bagi mereka, sebab sesungguhnya hal itu akan memperbaharui kesedihan dan membebani biaya beserta apa yang pernah terjadi”.

Beliau berkata demikian dalam konteks ilmu fiqh. Kalimah أكره tidak diartikan benci/tidak suka apalagi haram. Dan kalimah أكره tersebut artinya adalah “Aku menghukumi makruh”.

Kita bahas ma’tam terlebih dahulu, makna ma’tam secara lughawi diambil dari kata atama – ya’timu, artinya adalah “dikumpulkannya dua buah perkara”. Sedang yang dimaksud ma’tam dalam konteks pendapat imam asy-Syafi’i ini adalah setiap berkumpulnya dari laki-laki atau perempuan kepada keluarga yang ditinggal wafat sehingga ditakutkan terjadi ratapan atas yang wafat.

Selanjutnya Imam asy-Syafi’i menghukumi makruh atas ‘illat yang beliau sebutkan sendiri yaitu:

يجدد الحزن، ويكلف المؤنة

Artinya: “Memperbaharui kesedihan, dan membebani biaya “.
Sehingga apabila tidak ada ‘illat ini maka hukum makruh itu juga tidak ada, sebab di dalam salah satu kaidah ushul fiqh disebutkan: “al-’Illatu tadillu ‘alaa al-Hukmi” maknanya ‘illat itu menunjukkan atas hukum.
Itu artinya jika berkumpulnya manusia kepada keluarga yang ditinggal wafat tidak menyebabkan “يجدد الحزن، ويكلف المؤنة “, maka hal yang demikian (berkumpulnya manusia) tersebut tidak dihukumi makruh.

Jadi tidak benar kalau al-Imaam asy-Syafi’i rahimahullaah membenci bahkan mengharamkan ma’tam.

Sumber : http://jundumuhammad.net

Puasa Rajab Tidak Bid’ah, Tetapi Sunnah

Bulan ini kita telah memasuki dalam bulan Rajab. Tidak sedikit kaum Muslimin di Indonesia, yang mentradisikan puasa Sunnah ketika memasuki bulan-bulan mulia seperti bulan Rajab. Persoalannya, setelah merebaknya aliran Salafi-Wahabi di Indonesia, beragam tradisi ibadah dan keagamaan yang telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara, seperti puasa Sunnah di bulan Rajab selalu dipersoalkan oleh mereka dengan alasan bid’ah, haditsnya palsu dan alasan-alasan lainnya. Seakan-akan mereka ingin menghalangi umat Islam dari mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beribadah puasa. Oleh karena itu tulisan ini, berupaya menjernihkan hukum puasa Rajab berdasarkan pandangan para ulama yang otoritatif.
Hukum Puasa Rajab
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa Rajab.
Pertama, mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari. Pendapat ini juga menjadi qaul dalam madzhab Hanbali.
Kedua, para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30 hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan yang lainnya. Kemakruhan ini akan menjadi hilang apabila tidak berpuasa dalam satu atau dua hari dalam bulan Rajab tersebut, atau dengan berpuasa pada bulan yang lain. Para ulama madzhab Hanbali juga berbeda pendapat tentang menentukan bulan-bulan haram dengan puasa. Mayoritas mereka menghukumi sunnah, sementara sebagian lainnya tidak menjelaskan kesunnahannya.
Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.

Madzhab Hanafi
Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:
 


“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”

Madzhab Maliki
Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:
“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengarang, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).

Madzhab Syafi’i
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),

“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.
Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalam Asna al-Mathalib (1/433), Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah(2/53), Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.

Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitab al-Mughni (3/53):
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”
Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’ (3/118):
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”

DALIL PUASA RAJAB
Dalil Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil dengan beberapa banyak hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga:
Pertama, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53) dan fatwa beliau mengutip dari fatwa al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):
“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”

Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar (4/291):
“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”

Kedua, hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain hadits Mujibah al-Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322) sebagai berikut ini:
Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab(6/439): “Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian dalam bulan-bulan haram tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena berpuasa bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi orang yang tidak memberatkan, maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga dikemukakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Ketiga, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus. Hadits-hadits tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin Zaid berikut ini:
Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.”
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar (4/291): “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”
Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan lain-lain.

Dalil Madzhab Hanbali
Sebagaimana dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengkhususkan puasa Rajab secara penuh dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi kemakruhan puasa Rajab ini bisa hilang dengan dua cara, pertama, meninggalkan sehari atau lebih dalam bulan Rajab tanpa puasa. Dan kedua, berpuasa di bulan-bulan di luar Rajab, walaupun bulan tersebut tidak berdampingan dengan bulan Rajab.
Para ulama yang bermadzhab Hanbali, memakruhkan berpuasa Rajab secara penuh dan secara khusus, didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:
Hadits dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu beliau menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/513] dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias dha’if).
Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda kepadanya: “Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah meninggalkan puasa di bulan-bulan haram, dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.” (HR. Ibn Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Syaikh al-Albani.).
Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shollallaahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang puasa Rajab. (HR. Ibn Majah [1/554], tetapi hadits ini dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra [2/479], dan lain-lain).
Madzhab Hanbali juga berdalil dengan beberapa atsar dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa Umar pernah memukul orang karena berpuasa Rajab, atsar dari Anas bin Malik dan lain-lain. Tetapi atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para sahabat yang justru melakukan puasa Rajab. Disamping itu, dalil-dalil para ulama yang menganjurkan puasa Rajab jauh lebih kuat dan lebih shahih sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Sumber : http://jundumuhammad.net/


Social Icons

Featured Posts

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More